Published 2022-07-29
Copyright (c) 2022 SOFIAN, S.H., M.H., AFIDATUN NAHDIAH
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
Abstract
Tren keterwakilan perempuan di parlemen terus menunjukkan peningkatan dari periode ke periode pemilihan legislatif di DPR RI.Akan tetapi, walaupun jumlah anggota DPR perempuan meningkat, namun jumlah ini belum pernah mencapai 30 persen keterwakilan perempuan di DPR. Pada Pemilu 2019 persentase anggota perempuan terpilih hanya mencapai 20,8 persen atau 120 Anggota Legislatif perempuan dari total 575 kursi. Sementara tahun 2014 jumlah anggota DPR perempuan terpilih hanya 17,32 persen. Padahal Aturan hukum yang mengatur hal tersebut dapat dilihat dalam UUD NRI TAHUN 1945 dan UU Pemilu, UU Partai politik maupun aturan KPU yang menjadi payung hukum sebagai jaminan ruang untuk perempuan ikut serta di dalam proses berbangsa dan bernegara khususnya keterwakilan 30% perempuan di parlemen. Tujuan penulisan ini yakni untuk menganalisis bagaimana kendala yang dihadapi perempuan dalam mencapai pemenuhan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.Adapun metode yang digunakan yakni metode deskriptif guna menghasilkan data yang bersifat kualitatif. Hasil dari penulisan ini menunjukkan bahwa, Aturan affirmative action kuota 30 persen perempuan dan zipper system belum sepenuhnya berhasil dicapai oleh calon anggota DPR perempuan yang berhasil menduduki kursi parlemen. Perempuan masih mengalami kendala terhadap permasalahan ketimpangan gender yang mengakar dalam budaya masyarakat patriarki. Dominasi laki-laki di dunia politik dan parlemen sudah berlangsung sejak lama, membuat perempuan tertinggal dan memiliki akses yang lebih terbatas dalam meningkatkan kemampuannya untuk berpartisipasi di ranah politik.
Kata Kunci: Kendala, affirmative action, Representasi 30%Perempuan.